Berbicara mengenai arsitektur Islam, maka dalam benak sejumlah orang, akan terbayang sebuah bangunan dengan ornamen hiasan kaligrafi arabik dengan atap kubah yang membentang panjang menciptakan sebuah ruang monumental yang luas. Sejumlah rumusan pun dibuat dengan berdasar persepsi konvensional diatas menyangkut makna dan definisi arsitektur Islam. Bila arsitektur Islam dapat didefinisikan sesederhana itu, maka polemik dan diskusi mengenainya, mungkin tidak akan menarik untuk dibahas. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah sebenarnya arsitektur Islam itu? Darimanakah ia berasal?jenis-jenis bangunan apa sajakah yang dapat merepresentasikan sebuah karya arsitektur Islam?apakah arsitektur Islam semata-mata hanya sebuah produk?ataukah juga meliputi proses dalam penciptaanya?
Bila Arsitektur dipahami sebagai sebuah ilmu yang berkaitan dengan kegiatan merancang dan membangun (konstruksi) suatu bangunan gedung dimana ia mempertemukan aspek-aspek penting menyangkut kebutuhan fisik maupun psikis manusia, maka arsitektur Islam dapat dipahami sebagai sebuah ilmu merancang dan membangun bangunan gedung yang berada dalam khasanah peradaban Islam (sebagai konteks budayanya).
Mahmoud Itewi (2007) menuliskan bahwa Arsitektur Islam lahir dan berakar di daerah semenanjung Arab, dan dalam pemaknaan arsitektur Islam ini, Mahmoud Itewi tidak membatasinya pada bangunan gedung semata, namun juga memasukkan didalamnya adalah bentuk-bentuk perencanaan kota, area-area terbuka, jalan, langgam-langgam bangunan, yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi serta klimatis hingga sosial masyarakatnya. Berdasar pada model ini, masjid sebagai sebuah bentuk manifestasi arsitektur islam, senantiasa berada pada pusat-pusat kota dengan minaret-minaretnya yang dirancang untuk dapat memanggil umat muslim untuk datang.
Pada perkembanganya, sejalan dengan kegiatan dakwah umat Islam pada masa awal penyebaran Islam, arsitektur Islam menyebar ke kota-kota tua didunia lainnya seperti Romawi, Yunani, Byzantin, asia, afrika Utara dan asia tengah beriringan dengan penaklukan Islam atas sejumlah kota-kota tua tersebut. Kota-kota Baru seperti Sammarkan, Bukhara, Istanbul, Qordoba dan Granada muncul menggantikan kota-kota tua lama sebelumnya. Pada perkembangn akhirnya, kota-kota ini menjadi pusat dari pergerakan syiar Islam dan peradabannya.
Penting untuk dicatat bahwa pembentukan rumusan arsitektur Islam pada masa-masa itu, terjadi melalui proses ‘dialog’ (akulturasi, sinkretisasi hingga simbiosis) peradaban Islam dengan peradaban-peradaban lainnya dimasa itu. peradaban Islam berdialog dengan peradaban lain pada jaman itu dengan cara menyelaraskan diri, bukan dengan menghapusnya. Patung dan lukisan-lukisan yang bertentangan dengan ajaran Islam, digantikan dengan rancangan kolom, mosaic, foliage dan decorasi lainnya yang bernilai seni tinggi.
Teknologi bangunan terkini masa tersebut diadopsikan guna menunjang kebutuhan umat Islam masa tersebut dan memodifikasikannya agar ia selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti yang terjadi pada artefak-artefak bersejarah Islam yang diwarisinya dari peradaban Byzantin (kini sebagian menjadi wilayah Turki) menyangkut penggunaan dome (kubah dengan bentang lebar) maupun ornamen abstrak geometri yang sedang tren pada masa-masa akhir Byzantin.
Pada perkembangannya, ornamen-ornamen bangunan yang awalnya dikenal sebagai sebuah karya seni peradaban Byzantin, mengalami proses modifikasi, penghapusan, penghalusan hingga pengembangan lanjut yang pada akhirnya dirumuskan sebagai bagian dari khasanah arsitektur Islam. Proses ‘dialog’ melalui akulturasi, sinkretisasi maupun simbiosi ini tidak terbatas pada peradaban Byzantin semata, namun juga pada peradaban-peradaban lainnya, sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya Islam di seluruh belahan dunia, Masjid demak sebagai contoh, adalah sebuah bentuk sinkretisasi Islam dengan peradaban Hindu.
Dengan pesatnya perkembangan Islam, maka sulit bagi para kritisi dalam merumuskan akan makna sesungguhnya arsitektur Islam. Karena arsitektur Islam tidak memiliki ‘kulit’ yang sama yang memudahkan upaya perumusannya. Arsitektur Islam memiliki wajah yang beragam, yang berakar pada kultur dimana ia tumbuh dan berkembang. Pada perkembangannya, pemikiran ini membawa pada suatu dikotomi gagasan bahwa arsitektur Islam semata-mata merupakan sebuah karya asitektur yang bersumber pada ajaran Islam, yang diciptakan oleh umat Muslim bagi kegiatan peribadatan, sementara pemikiran lainnya yang cenderung bersifat inklusif (terbuka – moderat) berpandangan bahwa arsitektur Islam adalah karya arsitektur yang diciptakan, yang mengandung didalamnya nilai-nilai Islam yang universal.
Kelompok pertama banyak menyandarkan dasar pemikiran mereka pada karya-karya agung arsitektur yang berkembang di Timur-tengah (arab pada khususnya). Hal ini sebagian dikarenakan awal turunnya ajaran Islam adalah di daerah semenanjung Arab, sehingga seluruh atribut-atribut budaya (arsitektur termasuk di dalamnya) yang berkembang setelah turunnya ajaran Islam, dipandang mewakili rumusan esensial tentang arsitektur Islam. Dalam perkembangannya, arsitektur Islam dalam pandangan kelompok pertama ini, melahirkan sebuah gagasan yang lebih luas yaitu seni Islam.
Seni Islam dilihat dari bingkai Al Qur’an (Qur’anic framework) dipandang sebagai ekspresi estetis al-Qur’an. Al-Faruqi seorang kritisi dan akademisi, menyatakan bahwa pada dasarnya seni Islam adalah “seni Qur’ani”. al-Qur’an sebagai penjelas Tauhid atau Transendensi. Allah menurut al-Qur’an adalah Wujud Transenden yang “Tidak ada pandangan yang dapat melihat-Nya … Ia berada di atas segala perbandingan (6:103), Ia berada di luar jangkauan deskripsi apapun, dan tidak mungkin direpresentasikan melalui penggambaran (image) antropomorfis (dari kata antro bermakna manusia, yaitu bentukan-bentukan yang bersumber dari tubuh manusia) maupun zoomorfis (bentukan-bentukan yang bersumber dari bentuk hewan). Seni Islam didasarkan pada pernyataan “negatif” La ilaha illa Allah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Ia sepenuhnya berbeda dengan manusia dan alam.
Aspek paling mendasar yang diajarkan oleh doktrin Islam bahwa Tuhan bersifat tak terhingga dalam segala sesuatunya. Seni kaum Muslim sering disebut dengan seni pola infinit atau “seni infinit”. Ekspresi estetis ini juga dinamakan arabesk (arabesque). Arabesk mencakup dua bentuk pokok, yaitu stilisasi (dari kata Style atau gaya/langgam) tumbuhan, dan pola geometris. Arabesk merupakan ornamen dalam bentuk flora dan geometris yang abstrak non-figuratif,yang memberi kesan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan (infinit).
Seni Islam menurut Al-Faruqi menampilkan :
1. Karakteristik Ekspresi Estetis Tauhid , beberapa sifat estetis yang diciptakan oleh kaum muslim guna memunculkan kesan infinitas dan transendensi ;
a. Abstraksi. Pola infinit seni Islam adalah sifat abstrak. figur-figur natural mengalami denaturalisasi dan teknik stilisasi dengan tujuan sebagai pengingkar naturalisme.
b. Struktur Modular. Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan untuk membangun rancangan atau kesatuan yang lebih besar. Masing-masing modul
c. Kombinasi Suksesif. Pola infinit dalam seni Islam menunjukkan adanya kombinasi keberlanjutan (suksesif) dari modul dasar penyusunnya. Desain Islami selalu memiliki titik pusat yang tak terhitung jumlahnya, dan sebuah gaya persepsi internal yang menghilangkan kesan adanya permulaan maupun akhir yang konklusif .
d. Repetisi. Kesan infinitas dalam seni Islam diekspresikan melalui pola pengulangan (repetisi) dalam intensitas yang cukup tinggi. Kombinasi aditif (penambahan) dalam seni Islam dilakukan dengan pengulangan terhadap motif, modul, struktur maupun kombinasi suksesif mereka yang tampak terus berlanjut ad infinitum. Kesan abstrak diperkuat dengan pengekangan terhadap individualisasi bagian-bagian penyusunnya. Ia juga mencegah modul manapun dalam desain tersebut untuk lebih menonjol dibanding yang lain.
e. Dinamis. Desain Islam bersifat “dinamis”, ia merupakan desain yang harus dialami melalui waktu . karakteristik yang dianggap relevan secara universal yang dimiliki oleh semua jenis seni Islam dalam level yang paling subtil adalah orientasinya yang kuat, bahkan unik, kepada faktor temporal. Pola-pola infinit tidak pernah dapat dialami hanya melalui satu tatapan tunggal, dalam momen tunggal dengan sebuah penglihatan tunggal terhadap berbagai bagian yang ada. Tetapi, ia menarik mata dan jiwa melalui serangkaian pengamatan atau persepsi yang harus ditangkap secara serial. Arsitektur bangunan tidak akan dapat dipahami dari kejauhan sebagai sebuah totalitas, melainkan harus dialami dalam waktu ketika sang Pengamat bergerak melalui berbagai bagian dan sudut yang ada padanya.
f. Kerumitan. Detail yang rumit memperkuat kemampuan suatu pola arabesk untuk menarik perhatian pengamat dan mendorong konsentrasi kepada entitas struktural yang direpresentasikan.
2. al-Qur’an sebagai Model Seni
seni Islam bersifat “Qur’ani”, kitab suci al-Qur’an menjadi model utama dan tertinggi bagi kreativitas dan produksi estetis.
3. al-Qur’an sebagai Ikononografi Artistik
Bagi kebudayaan Islam, al-Qur’an tidak hanya menyediakan ideologi untuk diekspresikan dalam seni, ia tidak hanya menjadi model bagi bentuk maupun isi seni, melainkan memberikan bahan terpenting bagi ikonografi seni Islam.
Sementara kelompok lainnya berpandangan bahwa nilai-nilai universal yang abadi yang ada dalam ajaran Islam dapat berkembang di segala tempat, waktu dan seluruh lapisan golongan masyarakat. Dengan kaca mata ini, maka sebuah karya arsitektur dalam fungsi non ibadah (sekular) dapat digolongkan dalam kategori arsitektur Islam, selama ia mengandung nilai-nilai islam.
Pada akhirnya pandangan-pandangan ini melahirkan sub-sub kelompok dalam arsitektur Islam yaitu arsitektur Islami (Islamic Architecture) dan arsitektur muslim (moeslem Architecture) dimana arsitektur Islam (Architecture of Islam) dipandang sebagai payung utamanya.
Sebagai akhir dari penulisan ini, dapat dipaparkan kesimpulan besar dari penulis Elya Munfarida, dalam makalahnya yang berjudul Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail Raji al-Faruqi yaitu :
a. Sepanjang sejarah, Islam belum memiliki konsep estetika Islam yang mapan, komprehensif, dan applicable, sebagaimana yang dimiliki oleh peradaban Barat.
b. Pemikiran tentang estetika atau seni Islam hanya muncul secara sporadis dan marginal.
c. seni Islam tidaklah l’art pour l’art, melainkan seni yang mengantarkan kepada kesadaran ide transendensi Tuhan.