Senin, 20 Desember 2010

Arsitektur Islam sebuah produk peradaban ataukah retorika semata?

Berbicara mengenai arsitektur Islam, maka dalam benak sejumlah orang, akan terbayang sebuah bangunan dengan ornamen hiasan kaligrafi arabik dengan atap kubah yang membentang panjang menciptakan sebuah ruang monumental yang luas. Sejumlah rumusan pun dibuat dengan berdasar persepsi konvensional diatas menyangkut makna dan definisi arsitektur Islam. Bila arsitektur Islam dapat didefinisikan sesederhana itu, maka polemik dan diskusi mengenainya, mungkin tidak akan menarik untuk dibahas. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah sebenarnya arsitektur Islam itu? Darimanakah ia berasal?jenis-jenis bangunan apa sajakah yang dapat merepresentasikan sebuah karya arsitektur Islam?apakah arsitektur Islam semata-mata hanya sebuah produk?ataukah juga meliputi proses dalam penciptaanya?

Bila Arsitektur dipahami sebagai sebuah ilmu yang berkaitan dengan kegiatan merancang dan membangun (konstruksi) suatu bangunan gedung dimana ia mempertemukan aspek-aspek penting menyangkut kebutuhan fisik maupun psikis manusia, maka arsitektur Islam dapat dipahami sebagai sebuah ilmu merancang dan membangun bangunan gedung yang berada dalam khasanah peradaban Islam (sebagai konteks budayanya).

Mahmoud Itewi (2007) menuliskan bahwa Arsitektur Islam lahir dan berakar di daerah semenanjung Arab, dan dalam pemaknaan arsitektur Islam ini, Mahmoud Itewi tidak membatasinya pada bangunan gedung semata, namun juga memasukkan didalamnya adalah bentuk-bentuk perencanaan kota, area-area terbuka, jalan, langgam-langgam bangunan, yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi serta klimatis hingga sosial masyarakatnya. Berdasar pada model ini, masjid sebagai sebuah bentuk manifestasi arsitektur islam, senantiasa berada pada pusat-pusat kota dengan minaret-minaretnya yang dirancang untuk dapat memanggil umat muslim untuk datang.

Pada perkembanganya, sejalan dengan kegiatan dakwah umat Islam pada masa awal penyebaran Islam, arsitektur Islam menyebar ke kota-kota tua didunia lainnya seperti Romawi, Yunani, Byzantin, asia, afrika Utara dan asia tengah beriringan dengan penaklukan Islam atas sejumlah kota-kota tua tersebut. Kota-kota Baru seperti Sammarkan, Bukhara, Istanbul, Qordoba dan Granada muncul menggantikan kota-kota tua lama sebelumnya. Pada perkembangn akhirnya, kota-kota ini menjadi pusat dari pergerakan syiar Islam dan peradabannya.

Penting untuk dicatat bahwa pembentukan rumusan arsitektur Islam pada masa-masa itu, terjadi melalui proses ‘dialog’ (akulturasi, sinkretisasi hingga simbiosis) peradaban Islam dengan peradaban-peradaban lainnya dimasa itu. peradaban Islam berdialog dengan peradaban lain pada jaman itu dengan cara menyelaraskan diri, bukan dengan menghapusnya. Patung dan lukisan-lukisan yang bertentangan dengan ajaran Islam, digantikan dengan rancangan kolom, mosaic, foliage dan decorasi lainnya yang bernilai seni tinggi.

Teknologi bangunan terkini masa tersebut diadopsikan guna menunjang kebutuhan umat Islam masa tersebut dan memodifikasikannya agar ia selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam. Seperti yang terjadi pada artefak-artefak bersejarah Islam yang diwarisinya dari peradaban Byzantin (kini sebagian menjadi wilayah Turki) menyangkut penggunaan dome (kubah dengan bentang lebar) maupun ornamen abstrak geometri yang sedang tren pada masa-masa akhir Byzantin.

Pada perkembangannya, ornamen-ornamen bangunan yang awalnya dikenal sebagai sebuah karya seni peradaban Byzantin, mengalami proses modifikasi, penghapusan, penghalusan hingga pengembangan lanjut yang pada akhirnya dirumuskan sebagai bagian dari khasanah arsitektur Islam. Proses ‘dialog’ melalui akulturasi, sinkretisasi maupun simbiosi ini tidak terbatas pada peradaban Byzantin semata, namun juga pada peradaban-peradaban lainnya, sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya Islam di seluruh belahan dunia, Masjid demak sebagai contoh, adalah sebuah bentuk sinkretisasi Islam dengan peradaban Hindu.

Dengan pesatnya perkembangan Islam, maka sulit bagi para kritisi dalam merumuskan akan makna sesungguhnya arsitektur Islam. Karena arsitektur Islam tidak memiliki ‘kulit’ yang sama yang memudahkan upaya perumusannya. Arsitektur Islam memiliki wajah yang beragam, yang berakar pada kultur dimana ia tumbuh dan berkembang. Pada perkembangannya, pemikiran ini membawa pada suatu dikotomi gagasan bahwa arsitektur Islam semata-mata merupakan sebuah karya asitektur yang bersumber pada ajaran Islam, yang diciptakan oleh umat Muslim bagi kegiatan peribadatan, sementara pemikiran lainnya yang cenderung bersifat inklusif (terbuka – moderat) berpandangan bahwa arsitektur Islam adalah karya arsitektur yang diciptakan, yang mengandung didalamnya nilai-nilai Islam yang universal.

Kelompok pertama banyak menyandarkan dasar pemikiran mereka pada karya-karya agung arsitektur yang berkembang di Timur-tengah (arab pada khususnya). Hal ini sebagian dikarenakan awal turunnya ajaran Islam adalah di daerah semenanjung Arab, sehingga seluruh atribut-atribut budaya (arsitektur termasuk di dalamnya) yang berkembang setelah turunnya ajaran Islam, dipandang mewakili rumusan esensial tentang arsitektur Islam. Dalam perkembangannya, arsitektur Islam dalam pandangan kelompok pertama ini, melahirkan sebuah gagasan yang lebih luas yaitu seni Islam.

Seni Islam dilihat dari bingkai Al Qur’an (Qur’anic framework) dipandang sebagai ekspresi estetis al-Qur’an. Al-Faruqi seorang kritisi dan akademisi, menyatakan bahwa pada dasarnya seni Islam adalah “seni Qur’ani”. al-Qur’an sebagai penjelas Tauhid atau Transendensi. Allah menurut al-Qur’an adalah Wujud Transenden yang “Tidak ada pandangan yang dapat melihat-Nya … Ia berada di atas segala perbandingan (6:103), Ia berada di luar jangkauan deskripsi apapun, dan tidak mungkin direpresentasikan melalui penggambaran (image) antropomorfis (dari kata antro bermakna manusia, yaitu bentukan-bentukan yang bersumber dari tubuh manusia) maupun zoomorfis (bentukan-bentukan yang bersumber dari bentuk hewan). Seni Islam didasarkan pada pernyataan “negatif” La ilaha illa Allah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Ia sepenuhnya berbeda dengan manusia dan alam.

Aspek paling mendasar yang diajarkan oleh doktrin Islam bahwa Tuhan bersifat tak terhingga dalam segala sesuatunya. Seni kaum Muslim sering disebut dengan seni pola infinit atau “seni infinit”. Ekspresi estetis ini juga dinamakan arabesk (arabesque). Arabesk mencakup dua bentuk pokok, yaitu stilisasi (dari kata Style atau gaya/langgam) tumbuhan, dan pola geometris. Arabesk merupakan ornamen dalam bentuk flora dan geometris yang abstrak non-figuratif,yang memberi kesan ketakterhinggaan dan ketakterbatasan (infinit).

Seni Islam menurut Al-Faruqi menampilkan :

1. Karakteristik Ekspresi Estetis Tauhid , beberapa sifat estetis yang diciptakan oleh kaum muslim guna memunculkan kesan infinitas dan transendensi ;

a. Abstraksi. Pola infinit seni Islam adalah sifat abstrak. figur-figur natural mengalami denaturalisasi dan teknik stilisasi dengan tujuan sebagai pengingkar naturalisme.

b. Struktur Modular. Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan untuk membangun rancangan atau kesatuan yang lebih besar. Masing-masing modul

c. Kombinasi Suksesif. Pola infinit dalam seni Islam menunjukkan adanya kombinasi keberlanjutan (suksesif) dari modul dasar penyusunnya. Desain Islami selalu memiliki titik pusat yang tak terhitung jumlahnya, dan sebuah gaya persepsi internal yang menghilangkan kesan adanya permulaan maupun akhir yang konklusif .

d. Repetisi. Kesan infinitas dalam seni Islam diekspresikan melalui pola pengulangan (repetisi) dalam intensitas yang cukup tinggi. Kombinasi aditif (penambahan) dalam seni Islam dilakukan dengan pengulangan terhadap motif, modul, struktur maupun kombinasi suksesif mereka yang tampak terus berlanjut ad infinitum. Kesan abstrak diperkuat dengan pengekangan terhadap individualisasi bagian-bagian penyusunnya. Ia juga mencegah modul manapun dalam desain tersebut untuk lebih menonjol dibanding yang lain.

e. Dinamis. Desain Islam bersifat “dinamis”, ia merupakan desain yang harus dialami melalui waktu . karakteristik yang dianggap relevan secara universal yang dimiliki oleh semua jenis seni Islam dalam level yang paling subtil adalah orientasinya yang kuat, bahkan unik, kepada faktor temporal. Pola-pola infinit tidak pernah dapat dialami hanya melalui satu tatapan tunggal, dalam momen tunggal dengan sebuah penglihatan tunggal terhadap berbagai bagian yang ada. Tetapi, ia menarik mata dan jiwa melalui serangkaian pengamatan atau persepsi yang harus ditangkap secara serial. Arsitektur bangunan tidak akan dapat dipahami dari kejauhan sebagai sebuah totalitas, melainkan harus dialami dalam waktu ketika sang Pengamat bergerak melalui berbagai bagian dan sudut yang ada padanya.

f. Kerumitan. Detail yang rumit memperkuat kemampuan suatu pola arabesk untuk menarik perhatian pengamat dan mendorong konsentrasi kepada entitas struktural yang direpresentasikan.

2. al-Qur’an sebagai Model Seni

seni Islam bersifat “Qur’ani”, kitab suci al-Qur’an menjadi model utama dan tertinggi bagi kreativitas dan produksi estetis.

3. al-Qur’an sebagai Ikononografi Artistik

Bagi kebudayaan Islam, al-Qur’an tidak hanya menyediakan ideologi untuk diekspresikan dalam seni, ia tidak hanya menjadi model bagi bentuk maupun isi seni, melainkan memberikan bahan terpenting bagi ikonografi seni Islam.

Sementara kelompok lainnya berpandangan bahwa nilai-nilai universal yang abadi yang ada dalam ajaran Islam dapat berkembang di segala tempat, waktu dan seluruh lapisan golongan masyarakat. Dengan kaca mata ini, maka sebuah karya arsitektur dalam fungsi non ibadah (sekular) dapat digolongkan dalam kategori arsitektur Islam, selama ia mengandung nilai-nilai islam.

Pada akhirnya pandangan-pandangan ini melahirkan sub-sub kelompok dalam arsitektur Islam yaitu arsitektur Islami (Islamic Architecture) dan arsitektur muslim (moeslem Architecture) dimana arsitektur Islam (Architecture of Islam) dipandang sebagai payung utamanya.

Sebagai akhir dari penulisan ini, dapat dipaparkan kesimpulan besar dari penulis Elya Munfarida, dalam makalahnya yang berjudul Formulasi Konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Ismail Raji al-Faruqi yaitu :

a. Sepanjang sejarah, Islam belum memiliki konsep estetika Islam yang mapan, komprehensif, dan applicable, sebagaimana yang dimiliki oleh peradaban Barat.

b. Pemikiran tentang estetika atau seni Islam hanya muncul secara sporadis dan marginal.

c. seni Islam tidaklah l’art pour l’art, melainkan seni yang mengantarkan kepada kesadaran ide transendensi Tuhan.

Minimalism versus ‘ minimalis’, sebuah renungan akan kondisi wajah kota

Pontianak dan isu perdagangan global

Pontianak sebagai sebuah kota perdagangan yang mengemban misi globalisasi melaui visi dan misi-nya, disatu sisi telah memberikan dampak positif berupa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi kota. sebagai gambaran adalah laporan BPS di tahun 2006, dimana hampir seluruh sector ekonomi mengalami pertumbuhan, terutama sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran maupun sektor-sektor lain yang peranannya lebih kecil (sumber :http://kalbar.bps.go.id/kota_ptk/Kota/index_eko.htm).

Disisi lain pertumbuhan sektor perekonomian kota Pontianak, akibat perdagangan global juga meninggalkan sejumlah masalah yang secara gradual akan mempengaruhi perubahan wajah arsitektur kota khatulistiwa ini dimasa yang akan datang.

Beberapa waktu belakangan ini, hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia, bahkan hingga ke desa-desa, mengalami sebuah ‘wabah’ dalam perkembangan wajah arsitektur kota atau desa-nya. Wabah tersebut adalah ‘minimalis’ (penulis memberikan tambahan ‘ ‘ pada kata ‘minimalis’ untuk membedakannya dengan minimalism). ‘Wabah’ ini (yang hingga saat ini belum dapat didiagnosis secara tepat sumber maupun awal mula perkembanganya) melanda hampir seluruh wilayah teritori kota hingga pelosok daerah di Indonesia, tanpa dapat dibendung, tanpa dapat dicegah, menggantikan wajah kota yang heterogen menjadi sebuah wajah kota baru yang cenderung homogen.

Wabah arsitektur ‘minimalis’ yang melanda kota-kota di Indonesia, kini telah pula memasuki kota Pontianak. Hampir dapat kita temui disepanjang jalan-jalan utama kota maupun gang-gang kampung di kota Pontianak, wajah-wajah bangunan yang berganti rupa (meskipun hanya sebatas kulit) dengan wajah baru bergaya arsitektur ‘minimalis’. Kini setiap pembangunan gedung, senantiasa menampilkan baik utuh maupun sebagian dari idiom bahasa ‘minimalis’ ini dalam tampilan wajah bangunannya.

Apakah hal ini bermakna negative?separuh negative?negatif positif?atau bahkan positif?

Arsitektur ‘minimalis’ dalam tinjauan historik

Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita tinjau asal muasal ‘minimalis’ yang kini melanda kota Pontianak. Makna ‘Minimalis’ terkadang dikaitkan dengan minimalism (sebuah isme -), simplicity (sebuah teori, konsep dan metode dalam berkarya seni dan arsitektur) maupun jargon less is more milik arsitek ternama Jerman, Mies van der Rohe. Minimalism adalah sebuah paham yang melanda Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Paham ini dipopulerkan oleh para arsitek avant garde yang ingin menyuarakan aspirasi sosial mereka dalam berkarya seni dan penciptaan bangunan gedung bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat pada umumnya (social arts - seni untuk kemaslahatan umum) dan bukan semata-mata hanya melayani kepentingan masyarakat kelas atas. Paham ini lahir, disatu sisi akibat trend industrialisasi, pergolakan sosial (pasca revolusi industry yang terkenal itu), maupun dan diperhebat oleh resesi dunia akibat perang dunia I.

Tuntutan akan terpenuhinya kebutuhan masyarakat, terutama menyangkut kebutuhan hunian maupun barang-barang komoditi konsumtif lainnya yang kian meningkat yang dihadapkan pada keterbatasan akan sumber daya (alam, manusia maupun ekonomi), menggerakkan para praktisi maupun akademisi arsitektur di Eropa pada masa itu untuk merumuskan sebuah konsep (gagasan) baru dalam mencipta karya yang bersesuaian dengan kebutuhan jamannya. Minimalism lahir sebagai sebuah pendekatan yang mencoba menjawab kebutuhan masyarakatnya (masyarakat industrial) ditengah-tengah krisis ekonomi yang melanda dunia masa itu.

Simplicity adalah sebuah pendekatan dalam berkarya baik seni maupun arsitektur, yang berupaya mereduksi, meninjau kembali secara kritis bahkan hingga pada upaya mengeliminir (menghilangkan) segala hal yang dirasakan tidak penting (esensial) dalam penciptaan sebuah karya. Pendekatan simplicity tidak lain adalah turunan langsung dari paham minimalism. Dalam bentuknya yang paling radikal, pendekatan simplicity dalam berkarya, dengan sangat berani mengharamkan penggunaan ornamen maupun hiasan seperti ditulis oleh Adolf Loos dalam tulisannya yang terkenal Ornament und Verbrechen (Ornament and Crime ,1908). Pandangan Loos yang menyatakan penggunaan ornamen dalam konteks kekinian adalah sebuah kejahatan dalam berkarya seni maupun arsitektur, turut menggerakkan sejumlah perubahan dalam berfikir maupun berkarya para arsitek di Eropa. Jerman melahirkan sekolah seni dan arsitektur Bauhaus (1919 – 1933), Belanda dengan kelompok deStijl-nya ( The Style, 1917 - 1932), amerika dengan kelompok Chicago School-nya (Louis Sullivan yang terkenal dengan Form Follow Function), hingga Rusia dengan kelompok Constructivist-nya.

Pendekatan simplicity dalam berkarya, selain menuntut adanya upaya eliminasi terhadap kaidah-kaidah ornamentasi dalam seni maupun bangunan gedung juga menginginkan adanya upaya penyederhanaan bentuk rancangan dalam sebuah bidang geometri sederhana (lingkaran, bidang dan segitiga), bahkan pada kelompok de stijl, hanya menyisakan garis horizontal dan vertikal. Selain itu penyederhanaan ini juga diterapkan dalam penggunaan warna dimana penggunaan warna hanya sebatas pada warna-warna primer (merah, kuning dan biru) dengan hitam dan putih sebagai komplementer, maupun pada penyederhanaan jumlah warna yang digunakan. Pendekatan ini oleh para akademisi Bauhaus di Jerman, dipandang sebagai upaya untuk memudahkan penciptaan karya seni secara industrial (produksi karya seni dan arsitektur secara masal atau reproduksi karya) dengan tidak meninggalkan kaidah kualitasnya sebagai sebuah karya seni dan arsitektur bermutu tinggi. Pendekatan simplicity inilah yang mempengaruhi pemikiran salah seorang arsitek modern Jerman, Mies van der Rohe dalam berkarya, yaitu dengan menampilkan permainan bidang-bidang transparan dan garis horizontal maupun vertikal dengan pembatasan ketat akan penggunaan warna. Mies van der Rohe dengan pendekatan simplicity-nya ini kemudian dikenal sebagi tokoh yang menciptakan teori normative dalam arsitektur, ‘less is more’.

Arsitektur ‘minimalis’ sebagai sebuah budaya pop

Dengan melihat misi dan tujuan gerakan arsitektrur modern dengan minimalism-nya sejarawan dan kritisi di bidang seni dan arsitektur menyebut minimalism sebagai sebuah paham yang cenderung idealis dan utopian, yang lahir akan kondisi tuntutan jamannya (zeitgeist). Bagaimanakah dengan arsitektur ‘minimalis’ yang kini melanda kota Pontianak itu?

Arsitektur ‘minimalis’ menurut Budi A. Sukada, akademisi dan praktisi yang juga mantan ketua IAI Nasional, merupakan sebuah bentuk kebudayaan pop yang berorientasi pada tren mode di luar negeri yang menyukai desain minimalis. Pendek kata, ‘minimalis’ adalah sebuah pendekatan mencipta karya yang mengacu sepenuhnya pada tren yang berkembang di luar negeri semata.

“Desain minimalis selalu menjadi pembicaraan hangat, dan banyak arsitek yang mempercantik pola tampilan ‘minimalis’ pada residensial untuk menambah nilainya,” kata dosen Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara itu. Sayangnya, lanjut Budi, pada umumnya arsitek di Indonesia tidak kreatif dan hanya ikut-ikutan konsep di negara lain. “Saat ini tidak ada gagasan kreatif dan fundamental dari para arsitek Tanah Air dalam mengembangkan properti. Negara-negara Adidaya selalu bisa menekan kreativitas negara lainnya yang lebih lemah termasuk dalam dunia arsitektur,” kata Budi mengeluh.

Beberapa arsitek Indonesia, kini sudah mulai memadukan desain ‘minimalis’ dengan tema-tema ramah lingkungan. Konsep hunian ramah lingkungan saat ini juga menjadi pembicaraan hangat. Sayangnya, konsep ini baru terbatas pada simbolik saja dan tidak benar-benar diterapkan dengan baik seperti halnya pada tren green architecture yang mulai melanda kota-kota besar di Jawa. Dan sekali lagi pendekatan inipun memiliki semangat yang sama dengan pendekatan sebelumnya (‘minimalis’), yaitu hanya sebatas pada sebuah tren dunia yang sedang ramai dibicarakan.

Minimalism versus ‘minimalis’

Penulis sependapat dengan pendapat Sudaryono, akademisi asal universitas Gadjah mada, bahwa Indonesia adalah murid terbaik amerika dalam hal menyikapi tuntutan perkembangan tren dunia. Sikap ini yang oleh Sudaryono disebutnya sebagai pragmatis, menurut penulis menjadi dasar lahir dan berkembangnya arsitektur ‘minimalis’ di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dan Pontianak pada khususnya. aliran pragmatisme menekankan bahwa komponen utama dalam meraih atau menciptakan sesuatu hal, terletak pada nilai kegunaan, nilai kepraktisan dan nilai keberhasilan atau dalam ungkapan lain getting things done. It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena kriteria inilah, pragmatisme sering dikritik sebagai sebuah pemikiran yang semata-mata mendukung bisnis dan politik Amerika dalam melawan sosialisme maupun isme-isme lainnya yang berseberangan dengan kepentingan bisnis dan politiknya.

Sehingga bila arsitektur ‘minimalis’ dipandang sebagai sebuah gagasan yang dipengaruhi oleh pragmatisme, maka arsitektur ‘minimalis’ adalah sebuah proses berkarya cipta arsitektur yang lebih mementingkan akan nilai kegunaan, kepraktisan serta keberhasilan dikaitkan dengan kegiatan ekonomi (pemasaran produk karya arsitektur tersebut) semata. Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti social, kultural dan lain-lain.

Bila disejajarkan, maka pendekatan minimalism dalam berkarya adalah sebuah pendekatan yang berbasis pada idealisme social arts, sedangkan ‘minimalis’ sebaliknya adalah sebuah pendekatan yang semata-mata hanya melayani suatu tren (dunia maupun lokal yang mengacu pada tren dunia) yang bertahan selama tren tersebut masih diminati pasar. Minimalism adalah sebuah idealisme, sementara ‘minimalis’ adalah sebuah tren. Persamaan diantara keduanya, hanya sebatas pada tampilan wajah yaitu pada peniruan gaya minimalism oleh ‘minimalis’ yang disesuaikan dengan kondisi tuntutan pasarnya.

R. Puspito Harimurti, ST.M.Sc.

sekeretaris IAI daerah KalBar dan akademisi pada program studi teknik arsitektur Politeknik Negeri Pontianak

Bauhaus's Ideologi, Concept and Method in Architecture

Bauhaus’s Ideologi, Concept and Method

in Architecture

Ideologi, Konsep dan Metode Bauhaus

dalam Arsitektur

Oleh

:

R. Puspito Harimurti,ST.,M.Sc.1,

Ir. Djoko Wijono, M.Arch2,

Ir. Adi Utomo Hatmoko, M.Arch2

Instansi Asal

:

1Politeknik Negeri Pontianak, 2Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT

The Bauhaus was an institution, and a school of taught of arts and design which generate an idea of reform on arts and craft and architecture movement in Germany in the early of the 20th Century. As one of the early of the modern movement proponent, Bauhaus was confronted with a variaty of ‘ism’, from Expressionism, Cubism, Rationalism even with the Germany’s Neue Sachlichkeit, which coloured their concepts development of arts and craft and architecture. This research is intended to know the principles and The Bauhaus’s ideology, concepts and method in Architecture.

This research is based its method on the rasionalistic approach with the content analysis technique, provide the principles of the master of forms of the Bauhaus likes Walter Gropius, Johannes Itten, Wassily Kandinsky, Paul Klee dan also Lazlo Moholy Nagy, to form an a frame conceptions of the Bauhaus in architecture, which consist of method, concepts and an ideology. This frame conceptions would be used to analyse three samples of the Bauhaus products in achitecture (Sommerfeld House, Haus am Horn dan Bauhaus Dessau) for its empirically indications meanings.

This research shows two result in general, that there are two parts of the Bauhaus concepts in architecture; the primary Bauhaus’s concepts on architecture, including zeitgeist and gesamkunstwerk which indicated on all of their product on architecture; the rasionalistic-industrial arts, social arts and metaphysic which was an secondary concepts that could indicate their era of products. The second result of this research is, The Bauhaus as a melting pot in to which many of the ‘ism’, artistic and architectual production merged. With the melting pot, Bauhaus succeded in superimposed all ‘ism’, artistic and architectual production, as a conception of design or the education, with which, state the universally principles that co-exist with the spirit of the age (zeitgeist). The Bauhaus ideology can be considered as a dynamic, become a melting pot from the alll ‘ism’ in the Bauhaus. This research also shows that the great contribution of the Bauhaus was its duality, or better still, 'trinity', that enabled cross-fertilisation of technique and arts; positivism, rationalism and romanticism, that all contributed to a coherent, albeit dynamic expression radiating an utopia.

Keywords: Rationalism, Functionalism, Cubism, Expressionism , Neue Sachlichkeit , Zeitgeist, Gesamkunstwerk, Melting Pot, Duality, Trinity