Senin, 20 Desember 2010

Minimalism versus ‘ minimalis’, sebuah renungan akan kondisi wajah kota

Pontianak dan isu perdagangan global

Pontianak sebagai sebuah kota perdagangan yang mengemban misi globalisasi melaui visi dan misi-nya, disatu sisi telah memberikan dampak positif berupa peningkatan laju pertumbuhan ekonomi kota. sebagai gambaran adalah laporan BPS di tahun 2006, dimana hampir seluruh sector ekonomi mengalami pertumbuhan, terutama sektor Industri Pengolahan, sektor Bangunan, sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran maupun sektor-sektor lain yang peranannya lebih kecil (sumber :http://kalbar.bps.go.id/kota_ptk/Kota/index_eko.htm).

Disisi lain pertumbuhan sektor perekonomian kota Pontianak, akibat perdagangan global juga meninggalkan sejumlah masalah yang secara gradual akan mempengaruhi perubahan wajah arsitektur kota khatulistiwa ini dimasa yang akan datang.

Beberapa waktu belakangan ini, hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia, bahkan hingga ke desa-desa, mengalami sebuah ‘wabah’ dalam perkembangan wajah arsitektur kota atau desa-nya. Wabah tersebut adalah ‘minimalis’ (penulis memberikan tambahan ‘ ‘ pada kata ‘minimalis’ untuk membedakannya dengan minimalism). ‘Wabah’ ini (yang hingga saat ini belum dapat didiagnosis secara tepat sumber maupun awal mula perkembanganya) melanda hampir seluruh wilayah teritori kota hingga pelosok daerah di Indonesia, tanpa dapat dibendung, tanpa dapat dicegah, menggantikan wajah kota yang heterogen menjadi sebuah wajah kota baru yang cenderung homogen.

Wabah arsitektur ‘minimalis’ yang melanda kota-kota di Indonesia, kini telah pula memasuki kota Pontianak. Hampir dapat kita temui disepanjang jalan-jalan utama kota maupun gang-gang kampung di kota Pontianak, wajah-wajah bangunan yang berganti rupa (meskipun hanya sebatas kulit) dengan wajah baru bergaya arsitektur ‘minimalis’. Kini setiap pembangunan gedung, senantiasa menampilkan baik utuh maupun sebagian dari idiom bahasa ‘minimalis’ ini dalam tampilan wajah bangunannya.

Apakah hal ini bermakna negative?separuh negative?negatif positif?atau bahkan positif?

Arsitektur ‘minimalis’ dalam tinjauan historik

Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya kita tinjau asal muasal ‘minimalis’ yang kini melanda kota Pontianak. Makna ‘Minimalis’ terkadang dikaitkan dengan minimalism (sebuah isme -), simplicity (sebuah teori, konsep dan metode dalam berkarya seni dan arsitektur) maupun jargon less is more milik arsitek ternama Jerman, Mies van der Rohe. Minimalism adalah sebuah paham yang melanda Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Paham ini dipopulerkan oleh para arsitek avant garde yang ingin menyuarakan aspirasi sosial mereka dalam berkarya seni dan penciptaan bangunan gedung bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat pada umumnya (social arts - seni untuk kemaslahatan umum) dan bukan semata-mata hanya melayani kepentingan masyarakat kelas atas. Paham ini lahir, disatu sisi akibat trend industrialisasi, pergolakan sosial (pasca revolusi industry yang terkenal itu), maupun dan diperhebat oleh resesi dunia akibat perang dunia I.

Tuntutan akan terpenuhinya kebutuhan masyarakat, terutama menyangkut kebutuhan hunian maupun barang-barang komoditi konsumtif lainnya yang kian meningkat yang dihadapkan pada keterbatasan akan sumber daya (alam, manusia maupun ekonomi), menggerakkan para praktisi maupun akademisi arsitektur di Eropa pada masa itu untuk merumuskan sebuah konsep (gagasan) baru dalam mencipta karya yang bersesuaian dengan kebutuhan jamannya. Minimalism lahir sebagai sebuah pendekatan yang mencoba menjawab kebutuhan masyarakatnya (masyarakat industrial) ditengah-tengah krisis ekonomi yang melanda dunia masa itu.

Simplicity adalah sebuah pendekatan dalam berkarya baik seni maupun arsitektur, yang berupaya mereduksi, meninjau kembali secara kritis bahkan hingga pada upaya mengeliminir (menghilangkan) segala hal yang dirasakan tidak penting (esensial) dalam penciptaan sebuah karya. Pendekatan simplicity tidak lain adalah turunan langsung dari paham minimalism. Dalam bentuknya yang paling radikal, pendekatan simplicity dalam berkarya, dengan sangat berani mengharamkan penggunaan ornamen maupun hiasan seperti ditulis oleh Adolf Loos dalam tulisannya yang terkenal Ornament und Verbrechen (Ornament and Crime ,1908). Pandangan Loos yang menyatakan penggunaan ornamen dalam konteks kekinian adalah sebuah kejahatan dalam berkarya seni maupun arsitektur, turut menggerakkan sejumlah perubahan dalam berfikir maupun berkarya para arsitek di Eropa. Jerman melahirkan sekolah seni dan arsitektur Bauhaus (1919 – 1933), Belanda dengan kelompok deStijl-nya ( The Style, 1917 - 1932), amerika dengan kelompok Chicago School-nya (Louis Sullivan yang terkenal dengan Form Follow Function), hingga Rusia dengan kelompok Constructivist-nya.

Pendekatan simplicity dalam berkarya, selain menuntut adanya upaya eliminasi terhadap kaidah-kaidah ornamentasi dalam seni maupun bangunan gedung juga menginginkan adanya upaya penyederhanaan bentuk rancangan dalam sebuah bidang geometri sederhana (lingkaran, bidang dan segitiga), bahkan pada kelompok de stijl, hanya menyisakan garis horizontal dan vertikal. Selain itu penyederhanaan ini juga diterapkan dalam penggunaan warna dimana penggunaan warna hanya sebatas pada warna-warna primer (merah, kuning dan biru) dengan hitam dan putih sebagai komplementer, maupun pada penyederhanaan jumlah warna yang digunakan. Pendekatan ini oleh para akademisi Bauhaus di Jerman, dipandang sebagai upaya untuk memudahkan penciptaan karya seni secara industrial (produksi karya seni dan arsitektur secara masal atau reproduksi karya) dengan tidak meninggalkan kaidah kualitasnya sebagai sebuah karya seni dan arsitektur bermutu tinggi. Pendekatan simplicity inilah yang mempengaruhi pemikiran salah seorang arsitek modern Jerman, Mies van der Rohe dalam berkarya, yaitu dengan menampilkan permainan bidang-bidang transparan dan garis horizontal maupun vertikal dengan pembatasan ketat akan penggunaan warna. Mies van der Rohe dengan pendekatan simplicity-nya ini kemudian dikenal sebagi tokoh yang menciptakan teori normative dalam arsitektur, ‘less is more’.

Arsitektur ‘minimalis’ sebagai sebuah budaya pop

Dengan melihat misi dan tujuan gerakan arsitektrur modern dengan minimalism-nya sejarawan dan kritisi di bidang seni dan arsitektur menyebut minimalism sebagai sebuah paham yang cenderung idealis dan utopian, yang lahir akan kondisi tuntutan jamannya (zeitgeist). Bagaimanakah dengan arsitektur ‘minimalis’ yang kini melanda kota Pontianak itu?

Arsitektur ‘minimalis’ menurut Budi A. Sukada, akademisi dan praktisi yang juga mantan ketua IAI Nasional, merupakan sebuah bentuk kebudayaan pop yang berorientasi pada tren mode di luar negeri yang menyukai desain minimalis. Pendek kata, ‘minimalis’ adalah sebuah pendekatan mencipta karya yang mengacu sepenuhnya pada tren yang berkembang di luar negeri semata.

“Desain minimalis selalu menjadi pembicaraan hangat, dan banyak arsitek yang mempercantik pola tampilan ‘minimalis’ pada residensial untuk menambah nilainya,” kata dosen Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara itu. Sayangnya, lanjut Budi, pada umumnya arsitek di Indonesia tidak kreatif dan hanya ikut-ikutan konsep di negara lain. “Saat ini tidak ada gagasan kreatif dan fundamental dari para arsitek Tanah Air dalam mengembangkan properti. Negara-negara Adidaya selalu bisa menekan kreativitas negara lainnya yang lebih lemah termasuk dalam dunia arsitektur,” kata Budi mengeluh.

Beberapa arsitek Indonesia, kini sudah mulai memadukan desain ‘minimalis’ dengan tema-tema ramah lingkungan. Konsep hunian ramah lingkungan saat ini juga menjadi pembicaraan hangat. Sayangnya, konsep ini baru terbatas pada simbolik saja dan tidak benar-benar diterapkan dengan baik seperti halnya pada tren green architecture yang mulai melanda kota-kota besar di Jawa. Dan sekali lagi pendekatan inipun memiliki semangat yang sama dengan pendekatan sebelumnya (‘minimalis’), yaitu hanya sebatas pada sebuah tren dunia yang sedang ramai dibicarakan.

Minimalism versus ‘minimalis’

Penulis sependapat dengan pendapat Sudaryono, akademisi asal universitas Gadjah mada, bahwa Indonesia adalah murid terbaik amerika dalam hal menyikapi tuntutan perkembangan tren dunia. Sikap ini yang oleh Sudaryono disebutnya sebagai pragmatis, menurut penulis menjadi dasar lahir dan berkembangnya arsitektur ‘minimalis’ di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dan Pontianak pada khususnya. aliran pragmatisme menekankan bahwa komponen utama dalam meraih atau menciptakan sesuatu hal, terletak pada nilai kegunaan, nilai kepraktisan dan nilai keberhasilan atau dalam ungkapan lain getting things done. It is useful because it is true, it is true because it is useful. Karena kriteria inilah, pragmatisme sering dikritik sebagai sebuah pemikiran yang semata-mata mendukung bisnis dan politik Amerika dalam melawan sosialisme maupun isme-isme lainnya yang berseberangan dengan kepentingan bisnis dan politiknya.

Sehingga bila arsitektur ‘minimalis’ dipandang sebagai sebuah gagasan yang dipengaruhi oleh pragmatisme, maka arsitektur ‘minimalis’ adalah sebuah proses berkarya cipta arsitektur yang lebih mementingkan akan nilai kegunaan, kepraktisan serta keberhasilan dikaitkan dengan kegiatan ekonomi (pemasaran produk karya arsitektur tersebut) semata. Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya seperti social, kultural dan lain-lain.

Bila disejajarkan, maka pendekatan minimalism dalam berkarya adalah sebuah pendekatan yang berbasis pada idealisme social arts, sedangkan ‘minimalis’ sebaliknya adalah sebuah pendekatan yang semata-mata hanya melayani suatu tren (dunia maupun lokal yang mengacu pada tren dunia) yang bertahan selama tren tersebut masih diminati pasar. Minimalism adalah sebuah idealisme, sementara ‘minimalis’ adalah sebuah tren. Persamaan diantara keduanya, hanya sebatas pada tampilan wajah yaitu pada peniruan gaya minimalism oleh ‘minimalis’ yang disesuaikan dengan kondisi tuntutan pasarnya.

R. Puspito Harimurti, ST.M.Sc.

sekeretaris IAI daerah KalBar dan akademisi pada program studi teknik arsitektur Politeknik Negeri Pontianak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar