Sabtu, 17 Mei 2014

Makalah Arsitektur 5 : Tipologi Bangunan Kios Kaki Lima dengan Studi Kasus Pada Kajian Struktur Formal Kios Meja dan Lemari di Yogyakarta



Tipologi Bangunan Kios Kaki Lima
Studi Kasus Pada Kajian Struktur Formal Kios Meja dan Lemari  di Yogyakarta
R. PUSPITO HARIMURTI, ANNA WIDJAJANTI
Program Studi Teknik Arsitektur,  Politeknik Negeri Pontianak
Jalan A. Yani Pontianak 78124, fullfrontaluc0079@gmail.com.com

Abstraks: Keberadaan pedagang kaki lima di kota Yogyakarta, merupakan bagian dari sektor ekonomi kota yang dapat digolongkan dalam kegiatan ekonomi informal. Pedagang kaki lima meja dan lemari yang sempat menjamur pada sekitar tahun 1990-an di Yogyakarta, pada dasarnya lahir akibat adanya kebutuhan mahasiswa akan perlengkapan huniannya yang bersifat temporer. Penelitian ini mencoba untuk menggali strategi-strategi yang dilakukan oleh para pedagang dalam mengantisipasi keterbatasan lahan guna mengoptimalisasikannya bagi kegiatan ekonomi mereka. Strategi-strategi ini, akan ditemu-kenali berdasar pada analisis struktur formal bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari  di Yogyakarta. Berdasar penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa keragaman kios meja dan lemari di Yogyakarta dapat dibedakan berdasar pada; karakteristik tempat, pola aktifitas dan proses pembuatan karya; Sebagian besar pedagang kios meja dan lemari di Yogyakarta, adalah pendatang yang berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta; Para pedagang memiliki kecenderungan semi nomaden dalam menempati area kiosnya; Para pedagang masih membudayakan semangat gotong royong dalam pembuatan kiosnya, hal ini dimungkinkan karena sebagian besar pedagang, berasal dari tempat yang sama, sehingga nilai-nilai budaya tradisional, masih dijunjung tinggi oleh mereka.
Kata-kata kunci: pedagang kaki lima, Yogyakarta,

Yogyakarta sebagai sebuah kota dengan predikat kota pendidikan, dalam perkembangannya memunculkan kantung-kantung (enclave) pusat pendidikan terutama pendidikan tinggi yang tersebar di seluruh penjuru kota. Keberadaan pusat-pusat pendidikan dan fasilitas penunjangnya ini pada perkembangannya diikuti oleh munculnya area permukiman mahasiswa (kost). Dengan semakin menjamurnya huniaan (kost) mahasiswa ini, pada akhirnya membangkitkan pertumbuhan sektor ekonomi baik formal maupun informal di sekitar wilayah tersebut.
Keberadaan pedagang kaki lima di kota Yogyakarta, merupakan bagian dari sektor ekonomi kota yang dapat digolongkan dalam kegiatan ekonomi  informal. Sektor ini tumbuh dan berkembang karena timbulnya permintaan yang tidak dapat dipenuhi atau belum dapat dipenuhi oleh sektor formal. Pedagang kaki lima meja dan lemari yang sempat menjamur pada sekitar tahun 1990an di Yogyakarta, pada dasarnya lahir akibat adanya kebutuhan mahasiswa akan perlengkapan huniannya yang bersifat temporer. Selain didukung oleh permintaan yang cukup tinggi, lokasi yang strategis turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya pkl-pkl ini di sekitar kampus-kampus di Yogyakarta. Dengan semakin tingginya harga jual tanah maupun sewa tanah, membuat para pedagang ini melakukan sejumlah adaptasi guna keberlangsungan kehidupan mereka di tengah pusat aktifitas mahasiswa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana struktur formal bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari di Yogyakarta, melalui pendekatan analisis Tipologi bangunan. Selain itu, dengan penelitian ini, diharapkan akan didapatkan rumusan tanggapan para pedagang dalam menanggapi keterbatasan lahan mereka bagi pemenuhan kebutuhan usaha mereka. Penelitian ini mencoba untuk menggali strategi-strategi yang dilakukan oleh para pedagang dalam mengantisipasi keterbatasan lahan guna mengoptimalisasikannya bagi kegiatan ekonomi mereka. Strategi-strategi ini, akan ditemu-kenali berdasar pada analisis struktur formal bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari  di Yogyakarta
Deskripsi Kasus
Kasus pertama bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari  di Yogyakarta adalah kios pedagang kaki lima penjual meja dan lemari  yang berada di Jalan Colombo, Gejayan, Yogyakarta.  kios pedagang kaki lima penjual meja dan lemari  yang berada di Jalan Colombo, Gejayan, Yogyakarta, beroperasi mulai dari tahun 2000. Menurut salah satu penjual, mereka pada awalnya, menempati lokasi di area sekitar perempatan Colombo, yang dimiliki oleh universitas Gadjah Mada. Namun dengan naiknya harga sewa lahan yang mencapai empat juta rupiah setiap tahunnya, membuat para pedagang ini memilih untuk pindah secara bersamaan menuju pada lokasi baru yang sekarang mereka tempati.



Gambar 1. Lokasi dan Kondisi Kasus Pertama dan kondisi fasade kios dan cara konstruksi kios
(sumber : data penulis)

Jumlah pedagang yang berdagang diarea ini mencapai empatbelas pedagang yang menyewa lahan dari Ibu Haji X  yang mereka bagi dengan ukuran 2 X 3 meter setiap kaplingnya. Para pedagang ini sebagian besar berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sementara bahan baku untuk pembuatan meja, lemari dan bingkai foto, berasal dari Boyolali. Kayu sengon yang mereka datangkan ini, menurut mereka memiliki kualitas serat yang lebih baik dan murah dibandingkan daerah lainnya.
Bangunan kios, menurut para pedagang, dibangun berdasar pengalaman mereka membangun kios sebelumnya. Bahan yang digunakan, di ambil dari bahan-bahan yang sebelumnya pernah mereka gunakan dan cenderung semi permanen. Hal ini dengan pertimbangan, sewaktu-waktu, mereka mungkin saja akan pindah lagi, mereka dapat dengan mudah membawa kembali material-material utama bangunan kios mereka yang mereka anggap masih layak untuk digunakan.
Dinding utamanya dibangun dengan menggunakan rangka kayu sebagai struktur utamanya (pada sebagian tempat, ada yang menggunakan tiang listrik, batang besi hollow sebagai struktur kolomnya). Material pengisi dinding adalah dengan papan sengon. Papan sengon ini, menurut mereka, sebagian besar berasal dari bahan-bahan dasar meja dan lemari yang memiliki kecacatan, sehingga tidak dapat digunakan. Sementara, ada sebagian pedagang yang menggunakan bahan kayu tripleks bekas sebagai dinding pengisi.
Bahan penutup atap, menggunakan material lembaran seng yang yang pasang menyatu dengan kios-kios lainnya. Konstruksi atap cenderung sederhana, dengan menggunakan rangka kuda-kuda kayu. Dengan adanya lahan yang memiliki badan jalan yang cukup lebar (mencapai 2–3 meter), membuat para pedagang memanfaatkan lahan badan jalan yang ada didepan kios mereka untuk memajang serta membuat barang dagangan mereka.
 


Gambar 2. tipe-tipe kios pada kasus 1 dengan (1) ruang penjual, (2) ruang memajang dan finishing, serta (3) ruang memajang dan workshop. (sumber : data amatan penulis)

Kasus kedua bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari di Yogyakarta adalah kios pedagang kaki lima penjual meja dan lemari  yang berada di Jalan Selokan Mataram, Babarsari, Yogyakarta.  kios pedagang kaki lima penjual meja dan lemari yang berada di Jalan Selokan Mataram, Babarsari, Yogyakarta, beroperasi mulai dari tahun 1998. Menurut para pedagang, dahulunya, daerah ini belum seramai saat ini, namun dengan semakin banyaknya perumahan penduduk, terutama yang digunakan untuk hunian kos-kos-an bagi mahasiswa Atmajaya dan sekitarnya, daerah ini kini kian ramai dan padat. 
Menurut salah satu penjual, lahan yang mereka gunakan ini, adalah lahan yang dimiliki oleh dinas pengairan Pemda Sleman, Yogyakarta. Dengan mendapat izin dari pihak dinas, mereka mulai membangun kios-kios yang kini mereka pergunakan untuk berdagang. Hambatan pada awal pembangunan kios ini adalah pada masalah lahan yang berada diatas selokan pembagi dari selokan mataram yang berukuran sekitar dua meter. Atas anjuran pihak dinas, mereka secara bergotong royong, membangun pondasi yang menyerupai talut di sepanjang selokan pembagi ini yang berfungsi selain menjaga pengikisan tanah oleh aliran air di selokan, juga sebagai pondasi bagi kios mereka. Sama halnya dengan kasus pertama, para pedagang meja dan lemari di kawasan selokan mataram, Babarsari ini umumnya adalah pendatang yang berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sementara bahan baku untuk pembuatan meja, lemari dan bingkai foto, berasal dari Boyolali. Kayu sengon yang mereka datangkan ini, menurut mereka memiliki kualitas serat yang lebih baik dan murah dibandingkan daerah lainnya. 



Gambar 3. Lokasi Kios pada kasus 2 (2 gambar diatas) dan aktifitas Pedagang Kios pada kasus 2,
sedang melakukan finishing karya (2 gambar dibawah). Serta Konstruksi kios pada kasus 2
(sumber : data amatan penulis)
Para pedagang ini mendapatkan keahlian membuat meja dan kursi, pada awalnya dari penyuluhan di desa mereka, Desa Temuo. Keahlian ini kemudian mereka kembangkan dan wariskan kepada pemuda-pemuda dusun Nglampingan yang merantau ke kota Yogyakarta, yang ikut bekerja di kios-kios tersebut.
Konstruksi kios, karena berada diatas selokan kecil (kurang lebih lebarnya 2 meter) yang menjadi cabang pembagi dari selokan mataram, maka oleh para pedagang, dibuatkan pondasi menerus sepanjang kedua sisi sungai, menyerupai talut sebagai konstruksi dasarnya. Lantai menggunakan rangka kayu dan papan untuk memperkokoh landasan lantai.




Gambar 4. Dua tipe kios pada kasus 2 dengan (1) ruang penjual, (2) ruang memajang ,
(3) ruang workshop, serta (4) Ruang istirahat Penjual. (sumber : data amatan penulis)
Keterbatasan lahan yang berada diatas selokan, membuat para pedagang membatasi aktifitas mereka didalam kios. Berdasar pengamatan yang telah dilakukan, pembuatan barang dagangan, lebih banyak dikerjakan diseberang jalan, yang juga mereka gunakan untuk menjemur barang. Sementara didalam kios, para pedagang lebih banyak mengerjakan pekerjaan finishing, seperti pengecatan dan pengampelasan.
Lokasi kasus ke-tiga, berada di tepi Jalan Ringroad Utara, dekat Terminal Jombor. Para pedagang yang berjumlah hanya tujuh kios ini, beroperasi mulai tahun 2002, dan seperti halnya pedagang di Jalan Kolombo, mereka, pada awalnya berjualan dengan menempati lokasi di area sekitar perempatan Colombo, yang dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada. Dan karena masalah ekonomi, akhirnya mereka pindah ke lokasi saat ini. Area yang saat ini mereka pergunakan, sebagian merupakan tanah yang dimiliki oleh Pak Haji Y yang mereka sewa seharga tujuhratus limapuluh ribu setiap tahunnya (tahun-tahun sebelumnya, harga sewa tanah adalah limaratus ribu rupiah). Seperti yang dituturkan oleh Bapak A.S. mereka pada umumnya menyewa lahan ini, karena disamping letaknya yang cukup strategis, harga sewanya cenderung lebih murah dibandingkan lahan sebelumnya yang dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada (empat juta rupiah). Seperti halnya pada kasus pertama dan kedua, para pedagang meja dan lemari di pinggir jalan ringroad utara ini, umumnya adalah pendatang yang berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.



Gambar 5. Lokasi Kasus Ke tiga dan pemilik Konstruksi Kios Kasus 3
(sumber : data amatan penulis)
Bangunan kios, dibangun dengan menggunakan bahan-bahan sederhana yang terdapat disekitar mereka, seperti kayu, papan dan seng. Konstruksi cenderung sederhana, namun pertimbangan bukan didasarkan pada kemungkinan mereka akan pindah, melainkan hanya berdasar pengetahuan dan ketersediaan dana  dan material yang mereka peroleh. Para pedagang umumnya hanya menggunakan kios dari pagi hingga sore hari. Mereka tidak menggunakan kios untuk tempat tinggal, namun menyewa gudang miliki bapak haji Y untuk keperluan tinggal sementara (rata-rata dari mereka, dalam sebulan selalu pulang ke kampung halaman mereka). Kios pada malam hari hanya digunakan untuk menyimpan barang dan bekerja menyelesaikan pengecatan dan pengamplasan barang.




Gambar 6. Dua tipe kios pada kasus 3 dengan (1) ruang penjual,
(2) ruang memajang , dan (3) ruang workshop. (sumber : data amatan penulis)

Pembahasan (Analisis Tipologi)
Analisa pada penelitian bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari  di Yogyakarta, adalah dengan menggunakan pendekatan analisa tipologi bangunan. Analisa ini dilakukan dengan membandingkan sejumlah bangunan bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari  di Yogyakarta (sample) yang mewakili tiga lokus bangunan bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari  di Yogyakarta (populasi).
Tipologi adalah studi mengenai tipe-tipe elemen yang memiliki suatu keteraturan tertentu yang membangun sebuah bentuk (Rossi, 1982 :40). Analisis tipologi adalah analisis suatu objek untuk mendapatkan elemen-elemen tipologi, yaitu ide-ide struktur formal objek tersebut, serta menetapkan aturan-aturan  baginya. Struktur formal, menyangkut mengenai pola sentralitas, liniaritas, cluster, atau grid suatu obyek, suatu upaya meng-karakteristikan bentuk (form) dalam suatu pemaknaan geometri yang dalam.  Tipologi suatu tempat, dibentuk dan memberi sebuah karakter terhadap konteksnya. Untuk dapat menemukan bagaimana tipologi sebuah tempat, dapat dilakukan proses identifikasi melalui : 1. Analisis bentuk tempatnya, 2. Analisis perbandingan elemen secara spasial, antara lebar, panjang, dan seterusnya, 3.Analisis enclosure (pemagaran secara spasial), 4. Analisa prosentase pelingkupan massa bangunan terhadap tapaknya. Secara sederhana, analisa tipologi suatu obyek, adalah suatu analisa keragaman suatu obyek, untuk mendapatkan bentuk origin dari obyek tersebut (Rossi, 1982 :40). Analisi tipologi, dapat dilakukan melalui tiga komponen utma bangunan, yaitu fisik, spasial dan style.
Tabel 1. Perbandingan fisik antara ke tiga kasus
Sumber : analisis penulis



Berdasar analisis fisik, menyangkut sistem struktur, konstruksi, tata ruang, pola organisasi ruang, peletakan dan material struktur  (tabel 1.) dapat diambil sejumlah hal, yaitu : 1. Sistem struktur atas (super struktur) untuk ketiga kasus, memiliki kesamaan sistem super struktur, yaitu menggunakan sistem struktur rangka. Sistem struktur bawah (Sub-struktur) untuk kasus ke dua, memiliki perbedaan dengan kedua kasus lainnya. Pada kasus kedua, sistem sub-struktur menggunakan sistem pondasi menerus berupa talut yang berfungsi untuk menahan pengikisan tanah oleh aliran air parit. Sementara pada kasus 1 dan 3, keduanya menggunakan sistem struktur memusat atau titik yang bertumpu pada kekuatan tanah kedua lahan, 3. Konstruksi kios untuk bagian atas bangunan memiliki kesamaan pada ketiga kasus, yaitu dengan menggunakan konstruksi rangka kayu yang disambung secara semi permanen. Perbedaan hanya pada konstruksi pondasi, dimana  kios pada kasus ke dua mengunakan konstruksi batu kali sebagai struktur pondasi menerusnya, 4. Konstruksi atap pada ketiga kasus,tidak memiliki perbedaan, karena ketiganya menggunakan sistem rangka kuda-kuda sederhana dengan material penutup atap yang terbuat dari bahan seng, 5. Kegiatan konstruksi untuk ketiga kasus, memiliki kesamaan, dalam hal sistem pengerjaan fisiknya, yaitu secara bergotong royong, 6.Organisasi ruang pada kasus ke tiga, adalah yang paling sederhana dibandingkan kedua kasus sebelumnya. Hal ini disebabkan, karena pekerjaan konstruksi/pembuatan barang tidak dilakukan ditempat, melainkan hanya finishing,penjualan dan pemajangan karya. Sementara kasus pertama memiliki organisasi ruang yang lebih kompleks, karena seluruh kegiatan pedagang (tidur, berjualan, workshop dari pembuatan hingga finishing)  dilakukan di dalam dan sekitar kios, 7.Material struktur yang digunakan oleh para pedagang, walau terdapat sejumlah perbedaan, namun secara umum memiliki kesamaan didalam mendapatkan bahan konstruksi, yaitu dengan memanfaatkan bahan disekitar mereka secara sederhana.
Tabel 2. Perbandingan style antara ke tiga kasus
Sumber : analisis penulis




Dari tabel 2. secara umum dapat diambil sejumlah hal yaitu : 1. Fasade pada ketiga kasus memiliki kesamaan dalam komposisi bukaan, wujud, skyline, maupun proporsi tampilannya, 2.Detil bukaan cenderung serupa antara kasus pertama hingga ketiga, hal ini dikarenakan bukaan yang ada bersifat fungsional semata dan guna memenuhi kebutuhan kios akan akses baik fisik maupun visual, 3.Ornamen pada ketiga kasus, cenderung polos, tanpa adanya dekorasi yang menonjol, 4. Tekstur dan warna kios secara umum cenderung monochromatik dengan penekanan warna coklat yang disadari atau tidak oleh pedagang, memiliki keseuaian dengan barang yang dijualnya. Tampilan cenderung alamiah.  Sebagai pembanding dapat terlihat pada kios lain yang tidak menjual meja dan lemari yang ada disekitarnya, yang cenderung menampilkan warna-warna primer guna menambah aksentuasi tampilan kiosnya (kios voucer HP).
Dari tabel 3dapat  disimpulkan  bahwa, 1. Tatanan massa pada ketiga kasus cenderung linier mengikuti pola jalan (non organis) yang ada didepannya. Namun, pada kasus kedua, pola tatanan ini, sebenarnya mengikuti pola aliran selokan Mataram (cenderung organis). 2. Orientasi ketiga kasus memiliki keserupaan dalam hal arah, yaitu pada arah jalan. 3.Tata ruang pada ketiga kasus, memiliki sejumlah perbedaan, yaitu pada kasus pertama, aktifitas diluar bangunan dibatasi oleh kebun dan jalan, pada kasus kedua, selain dibatasi oleh kebun dan jalan, juga dibatasi oleh selokan. Sementara pada kasus ketiga, aktifitas diluar bangunan, cenderung dibatasi oleh kepemilikan lahan dan jalan. 4. Pelingkupan pada ketiganya menunjukkan citra yang serupa, dimana area-area yang berada didepan kios, cenderung dibiarkan terbuka, guna area pemajangan barang. Komposisi massa yang linier, juga menjadi kesamaan diantara ketiga kasus.

Tabel 3. Perbandingan elemen spasial dari ketiga kasus
Sumber : analisis penulis





Hasil
Berdasar analisis terhadap sejumlah kasus diatas, didapatkan sejumlah hasil yaitu sebagai berikut :  1. terdapat sejumlah keragaman kios meja dan lemari di Yogyakarta, yaitu : 2. Berdasar  pada karakteristik tempatnya, terdapat dua macam kios meja dan lemari di Yogyakarta, yaitu kios yang berada dipinggir jalan dan kios yang berada didekat selokan. Kios yang berada dipinggir atau dekat selokan cenderung bersifat organis dalam tatanan massanya. Sementara sebaliknya untuk kios yang berada dipinggir jalan. 3. Berdasar pola aktifitasnya, terdapat tiga macam kios meja dan lemari di Yogyakarta, yaitu kios yang digunakan hanya untuk berjualan dan workshop, kios yang digunakan selain untuk berjualan dan workshop, juga sebagai tempat tinggal. 4.Berdasar proses pembuatan barangnya, terdapat dua macam kios meja dan lemari di Yogyakarta, yaitu kios yang hanya menjual barang dan kios yang selain menjual, juga membuat barang dagangan (meja dan lemari). 5. Sebagian besar pedagang kios meja dan lemari di Yogyakarta, adalah pendatang yang berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Selain itu, bahan yang dipergunakan untuk pembuatan meja dan lemari adalah bahan kayu sengon yang didatangkan dari Boyolali, Jawa Tengah. 6. Para pedagang memiliki kecenderungan semi nomaden dalam menempati area kiosnya. Dalam makna nomaden ini, para pedagang, dapat hijrah secara besar-besaran bila harga sewa semakin tinggi, walaupun lokasi yang ditempati masih sangat strategis. Konsekuensinya, sejumlah kios dibangun dengan pendekatan semi permanen. Hal ini dapat terlihat pada material yang digunakan hingga pada konstruksinya pada sistem super struktur (struktur lantai hingga atap). 7. Para pedagang masih membudayakan semangat gotong royong dalam pembuatan kiosnya, hal ini dimungkinkan karena sebagian besar pedagang, berasal dari tempat yang sama, sehingga nilai-nilai budaya tradisional, masih dijunjung oleh mereka. Selain itu, mereka masih merasa sebagai satu keluarga besar warga Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta
Kesimpulan
 Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. keragaman kios meja dan lemari di Yogyakarta, dapat diklasifikasikan berdasar pada : a. lokasi, b. proses produksi barang dagangan, c. asal pedagang, dan d. permanen tidak-nya bangunan. 2. Para pedagang menggunakan nilai2 budaya asalnya dalam membangun dan mengembangkan kios mereka.

Saran Untuk Penelitian Lanjutan
 Penelitian ini mencermati karakteristik kios-kios pedagang kaki lima meja dan lemari (fokus) yang berada di Yogyakarta (lokus), dengan menggunakan metode rasionalistik (modus), oleh karenanya, praktikan menyarankan bagi penelitian lanjutan dengan fokus yang sama (karakteristik kios-kios pedagang kaki lima meja dan kursi) untuk  menggunakan titik tolak penelitian  (lokus, dan modus) yang berbeda guna memperkaya hasil penelitian.
 Penelitian mengenai karakteristik kios-kios pedagang kaki lima, dapat memberikan informasi bagi para pengambil keputusan baik di tingkat kota/kabupaten, propinsi maupun nasional. Oleh karena itu, partisipasi  pihak-pihak terkait lainnya terutama pengambil kebijakan menyangkut tata kota perlu untuk dipertimbangkan dalam penggalian data dalam penelitan selanjutnya. 


Daftar Pustaka
Rossi, Aldo, 1980, Architecture Of The City, Rizzoli, New York
Trancik, Roger, 1985,  Finding Lost Space, Prentice Hall, Inc, New Jersey
Rapoport, Amos, 1977, Defining Vernacular Architecture, Prentice Hall, Inc., New Jersey.
Ching, Fancis., D.K., 2000, Arsitektur Bentuk, Ruang dan Tatanan. Erlangga, Jakarta
Habraken, N.J, 1978, General Principles Of About The Way Environment Of Architecture. MIT, Massachussets.
Hariyadi, Setiawan, B., 1995, Arsitektur Lingkungan Dan Perilaku; Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi, Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan; Dirjen Dikti Depdikbud, Jakarta.
Muhadjir, Noeng, 1997, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasih, Yogyakarta.
Rapopot, Amos., 1974, House Form and Culture, Prentice Hall, Inc., New Jersey.
Snyder James C, 1984, Architectural Research, Van Nostrand Reinhold Company, New York.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar