Tipologi Bangunan
Kios Kaki Lima
Studi Kasus
Pada Kajian Struktur Formal Kios Meja dan Lemari di Yogyakarta
R. PUSPITO
HARIMURTI, ANNA WIDJAJANTI
Program Studi Teknik Arsitektur, Politeknik Negeri Pontianak
Jalan A. Yani Pontianak 78124, fullfrontaluc0079@gmail.com.com
Abstraks: Keberadaan
pedagang kaki lima di kota Yogyakarta, merupakan bagian dari sektor ekonomi
kota yang dapat digolongkan dalam kegiatan ekonomi informal. Pedagang kaki lima
meja dan lemari yang sempat menjamur pada sekitar tahun 1990-an di Yogyakarta,
pada dasarnya lahir akibat adanya kebutuhan mahasiswa akan perlengkapan
huniannya yang bersifat temporer. Penelitian ini mencoba untuk menggali
strategi-strategi yang dilakukan oleh para pedagang dalam mengantisipasi
keterbatasan lahan guna mengoptimalisasikannya bagi kegiatan ekonomi mereka.
Strategi-strategi ini, akan ditemu-kenali berdasar pada analisis struktur
formal bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari di Yogyakarta. Berdasar penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa keragaman kios meja dan lemari di Yogyakarta dapat dibedakan
berdasar pada; karakteristik tempat, pola aktifitas dan proses pembuatan karya;
Sebagian besar pedagang kios meja dan lemari di Yogyakarta, adalah pendatang
yang berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten
Bantul, Yogyakarta; Para pedagang memiliki kecenderungan semi nomaden dalam
menempati area kiosnya; Para pedagang masih membudayakan semangat gotong royong
dalam pembuatan kiosnya, hal ini dimungkinkan karena sebagian besar pedagang,
berasal dari tempat yang sama, sehingga nilai-nilai budaya tradisional, masih
dijunjung tinggi oleh mereka.
Kata-kata kunci: pedagang kaki lima, Yogyakarta,
Yogyakarta sebagai sebuah kota dengan
predikat kota pendidikan, dalam perkembangannya memunculkan kantung-kantung
(enclave) pusat pendidikan terutama pendidikan tinggi yang tersebar di seluruh
penjuru kota. Keberadaan pusat-pusat pendidikan dan fasilitas penunjangnya ini
pada perkembangannya diikuti oleh munculnya area permukiman mahasiswa (kost).
Dengan semakin menjamurnya huniaan (kost) mahasiswa ini, pada akhirnya
membangkitkan pertumbuhan sektor ekonomi baik formal maupun informal di sekitar
wilayah tersebut.
Keberadaan pedagang kaki lima di kota
Yogyakarta, merupakan bagian dari sektor ekonomi kota yang dapat digolongkan
dalam kegiatan ekonomi informal. Sektor
ini tumbuh dan berkembang karena timbulnya permintaan yang tidak dapat dipenuhi
atau belum dapat dipenuhi oleh sektor formal. Pedagang kaki lima meja dan
lemari yang sempat menjamur pada sekitar tahun 1990an di Yogyakarta, pada
dasarnya lahir akibat adanya kebutuhan mahasiswa akan perlengkapan huniannya
yang bersifat temporer. Selain didukung oleh permintaan yang cukup tinggi,
lokasi yang strategis turut mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya pkl-pkl ini
di sekitar kampus-kampus di Yogyakarta. Dengan semakin tingginya harga jual
tanah maupun sewa tanah, membuat para pedagang ini melakukan sejumlah adaptasi
guna keberlangsungan kehidupan mereka di tengah pusat aktifitas mahasiswa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana struktur formal bangunan kios kaki lima penjual meja dan
lemari di Yogyakarta, melalui pendekatan analisis Tipologi bangunan. Selain
itu, dengan penelitian ini, diharapkan akan didapatkan rumusan tanggapan para
pedagang dalam menanggapi keterbatasan lahan mereka bagi pemenuhan kebutuhan
usaha mereka. Penelitian ini mencoba untuk menggali strategi-strategi yang
dilakukan oleh para pedagang dalam mengantisipasi keterbatasan lahan guna
mengoptimalisasikannya bagi kegiatan ekonomi mereka. Strategi-strategi ini,
akan ditemu-kenali berdasar pada analisis struktur formal bangunan kios kaki
lima penjual meja dan lemari di
Yogyakarta
Deskripsi Kasus
Kasus pertama bangunan kios
kaki lima penjual meja dan lemari di
Yogyakarta adalah kios pedagang kaki lima penjual meja dan lemari yang berada di Jalan Colombo, Gejayan,
Yogyakarta. kios pedagang kaki lima
penjual meja dan lemari yang berada di
Jalan Colombo, Gejayan, Yogyakarta, beroperasi mulai dari tahun 2000. Menurut
salah satu penjual, mereka pada awalnya, menempati lokasi di area sekitar
perempatan Colombo, yang dimiliki oleh universitas Gadjah Mada. Namun dengan
naiknya harga sewa lahan yang mencapai empat juta rupiah setiap tahunnya,
membuat para pedagang ini memilih untuk pindah secara bersamaan menuju pada
lokasi baru yang sekarang mereka tempati.
Gambar 1. Lokasi dan
Kondisi Kasus Pertama dan kondisi fasade kios dan cara konstruksi kios
(sumber : data penulis)
Jumlah pedagang yang berdagang diarea ini
mencapai empatbelas pedagang yang menyewa lahan dari Ibu Haji X yang mereka bagi dengan ukuran 2 X 3 meter
setiap kaplingnya. Para pedagang ini sebagian besar berasal dari Dusun
Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Sementara bahan baku untuk pembuatan meja, lemari dan bingkai foto, berasal
dari Boyolali. Kayu sengon yang mereka datangkan ini, menurut mereka memiliki
kualitas serat yang lebih baik dan murah dibandingkan daerah lainnya.
Bangunan kios, menurut para pedagang,
dibangun berdasar pengalaman mereka membangun kios sebelumnya. Bahan yang
digunakan, di ambil dari bahan-bahan yang sebelumnya pernah mereka gunakan dan
cenderung semi permanen. Hal ini dengan pertimbangan, sewaktu-waktu, mereka
mungkin saja akan pindah lagi, mereka dapat dengan mudah membawa kembali
material-material utama bangunan kios mereka yang mereka anggap masih layak
untuk digunakan.
Dinding utamanya dibangun dengan
menggunakan rangka kayu sebagai struktur utamanya (pada sebagian tempat, ada
yang menggunakan tiang listrik, batang besi hollow sebagai struktur kolomnya).
Material pengisi dinding adalah dengan papan sengon. Papan sengon ini, menurut
mereka, sebagian besar berasal dari bahan-bahan dasar meja dan lemari yang
memiliki kecacatan, sehingga tidak dapat digunakan. Sementara, ada sebagian
pedagang yang menggunakan bahan kayu tripleks bekas sebagai dinding pengisi.
Bahan penutup atap, menggunakan material
lembaran seng yang yang pasang menyatu dengan kios-kios lainnya. Konstruksi
atap cenderung sederhana, dengan menggunakan rangka kuda-kuda kayu. Dengan
adanya lahan yang memiliki badan jalan yang cukup lebar (mencapai 2–3 meter),
membuat para pedagang memanfaatkan lahan badan jalan yang ada didepan kios
mereka untuk memajang serta membuat barang dagangan mereka.
Gambar 2. tipe-tipe kios
pada kasus 1 dengan (1) ruang penjual, (2) ruang memajang dan finishing, serta
(3) ruang memajang dan workshop. (sumber : data amatan penulis)
Kasus kedua bangunan kios kaki lima
penjual meja dan lemari di Yogyakarta adalah kios pedagang kaki lima penjual
meja dan lemari yang berada di Jalan
Selokan Mataram, Babarsari, Yogyakarta.
kios pedagang kaki lima penjual meja dan lemari yang berada di Jalan
Selokan Mataram, Babarsari, Yogyakarta, beroperasi mulai dari tahun 1998.
Menurut para pedagang, dahulunya, daerah ini belum seramai saat ini, namun
dengan semakin banyaknya perumahan penduduk, terutama yang digunakan untuk
hunian kos-kos-an bagi mahasiswa Atmajaya dan sekitarnya, daerah ini kini kian
ramai dan padat.
Menurut salah satu penjual,
lahan yang mereka gunakan ini, adalah lahan yang dimiliki oleh dinas pengairan
Pemda Sleman, Yogyakarta. Dengan mendapat izin dari pihak dinas, mereka mulai
membangun kios-kios yang kini mereka pergunakan untuk berdagang. Hambatan pada
awal pembangunan kios ini adalah pada masalah lahan yang berada diatas selokan
pembagi dari selokan mataram yang berukuran sekitar dua meter. Atas anjuran
pihak dinas, mereka secara bergotong royong, membangun pondasi yang menyerupai
talut di sepanjang selokan pembagi ini yang berfungsi selain menjaga pengikisan
tanah oleh aliran air di selokan, juga sebagai pondasi bagi kios mereka. Sama
halnya dengan kasus pertama, para pedagang meja dan lemari di kawasan selokan
mataram, Babarsari ini umumnya adalah pendatang yang berasal dari Dusun
Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Sementara bahan baku untuk pembuatan meja, lemari dan bingkai foto, berasal
dari Boyolali. Kayu sengon yang mereka datangkan ini, menurut mereka memiliki
kualitas serat yang lebih baik dan murah dibandingkan daerah lainnya.
Gambar 3. Lokasi Kios
pada kasus 2 (2 gambar diatas) dan aktifitas Pedagang Kios pada kasus 2,
sedang melakukan finishing karya
(2 gambar dibawah). Serta Konstruksi kios pada kasus 2
(sumber : data amatan penulis)
Para pedagang ini
mendapatkan keahlian membuat meja dan kursi, pada awalnya dari penyuluhan di
desa mereka, Desa Temuo. Keahlian ini kemudian mereka kembangkan dan wariskan
kepada pemuda-pemuda dusun Nglampingan yang merantau ke kota Yogyakarta, yang
ikut bekerja di kios-kios tersebut.
Konstruksi kios, karena
berada diatas selokan kecil (kurang lebih lebarnya 2 meter) yang menjadi cabang
pembagi dari selokan mataram, maka oleh para pedagang, dibuatkan pondasi
menerus sepanjang kedua sisi sungai, menyerupai talut sebagai konstruksi
dasarnya. Lantai menggunakan rangka kayu dan papan untuk memperkokoh landasan
lantai.
Gambar 4. Dua tipe kios
pada kasus 2 dengan (1) ruang penjual, (2) ruang memajang ,
(3) ruang workshop, serta
(4) Ruang istirahat Penjual. (sumber : data amatan penulis)
Keterbatasan lahan yang berada diatas
selokan, membuat para pedagang membatasi aktifitas mereka didalam kios. Berdasar
pengamatan yang telah dilakukan, pembuatan barang dagangan, lebih banyak
dikerjakan diseberang jalan, yang juga mereka gunakan untuk menjemur barang.
Sementara didalam kios, para pedagang lebih banyak mengerjakan pekerjaan
finishing, seperti pengecatan dan pengampelasan.
Lokasi kasus ke-tiga,
berada di tepi Jalan Ringroad Utara, dekat Terminal Jombor. Para pedagang yang
berjumlah hanya tujuh kios ini, beroperasi mulai tahun 2002, dan seperti halnya
pedagang di Jalan Kolombo, mereka, pada awalnya berjualan dengan menempati
lokasi di area sekitar perempatan Colombo, yang dimiliki oleh Universitas
Gadjah Mada. Dan karena masalah ekonomi, akhirnya mereka pindah ke lokasi saat
ini. Area yang saat ini mereka pergunakan, sebagian merupakan tanah yang
dimiliki oleh Pak Haji Y yang mereka sewa seharga tujuhratus limapuluh ribu
setiap tahunnya (tahun-tahun sebelumnya, harga sewa tanah adalah limaratus ribu
rupiah). Seperti yang dituturkan oleh Bapak A.S. mereka pada umumnya menyewa
lahan ini, karena disamping letaknya yang cukup strategis, harga sewanya
cenderung lebih murah dibandingkan lahan sebelumnya yang dimiliki oleh Universitas
Gadjah Mada (empat juta rupiah). Seperti halnya pada kasus pertama dan kedua,
para pedagang meja dan lemari di pinggir jalan ringroad utara ini, umumnya
adalah pendatang yang berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan
Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Gambar 5. Lokasi Kasus Ke
tiga dan pemilik Konstruksi Kios Kasus 3
(sumber : data amatan penulis)
Bangunan kios, dibangun
dengan menggunakan bahan-bahan sederhana yang terdapat disekitar mereka,
seperti kayu, papan dan seng. Konstruksi cenderung sederhana, namun
pertimbangan bukan didasarkan pada kemungkinan mereka akan pindah, melainkan
hanya berdasar pengetahuan dan ketersediaan dana dan material yang mereka peroleh. Para
pedagang umumnya hanya menggunakan kios dari pagi hingga sore hari. Mereka
tidak menggunakan kios untuk tempat tinggal, namun menyewa gudang miliki bapak
haji Y untuk keperluan tinggal sementara (rata-rata dari mereka, dalam sebulan
selalu pulang ke kampung halaman mereka). Kios pada malam hari hanya digunakan
untuk menyimpan barang dan bekerja menyelesaikan pengecatan dan pengamplasan
barang.
Gambar 6. Dua tipe kios pada
kasus 3 dengan (1) ruang penjual,
(2) ruang memajang , dan (3)
ruang workshop. (sumber : data amatan penulis)
Analisa pada penelitian bangunan kios kaki
lima penjual meja dan lemari di
Yogyakarta, adalah dengan menggunakan pendekatan analisa tipologi bangunan.
Analisa ini dilakukan dengan membandingkan sejumlah bangunan bangunan kios kaki
lima penjual meja dan lemari di
Yogyakarta (sample) yang mewakili
tiga lokus bangunan bangunan kios kaki lima penjual meja dan lemari di Yogyakarta (populasi).
Tipologi adalah studi
mengenai tipe-tipe elemen yang memiliki suatu keteraturan tertentu yang
membangun sebuah bentuk (Rossi, 1982 :40). Analisis tipologi adalah analisis
suatu objek untuk mendapatkan elemen-elemen tipologi, yaitu ide-ide struktur
formal objek tersebut, serta menetapkan aturan-aturan baginya. Struktur formal, menyangkut mengenai
pola sentralitas, liniaritas, cluster, atau grid suatu obyek, suatu upaya
meng-karakteristikan bentuk (form) dalam suatu pemaknaan geometri yang
dalam. Tipologi suatu tempat, dibentuk
dan memberi sebuah karakter terhadap konteksnya. Untuk dapat menemukan
bagaimana tipologi sebuah tempat, dapat dilakukan proses identifikasi melalui :
1. Analisis bentuk tempatnya, 2. Analisis perbandingan elemen secara spasial,
antara lebar, panjang, dan seterusnya, 3.Analisis enclosure (pemagaran secara
spasial), 4. Analisa prosentase pelingkupan massa bangunan terhadap tapaknya.
Secara sederhana, analisa tipologi suatu obyek, adalah suatu analisa keragaman
suatu obyek, untuk mendapatkan bentuk origin dari obyek tersebut (Rossi, 1982
:40). Analisi tipologi, dapat dilakukan melalui tiga komponen utma bangunan,
yaitu fisik, spasial dan style.
Tabel 1. Perbandingan fisik antara ke tiga kasus
Sumber : analisis penulis
Berdasar analisis fisik, menyangkut sistem struktur, konstruksi, tata
ruang, pola organisasi ruang, peletakan dan material struktur (tabel 1.) dapat diambil sejumlah hal, yaitu
: 1. Sistem struktur atas (super struktur) untuk ketiga kasus, memiliki
kesamaan sistem super struktur, yaitu menggunakan sistem struktur rangka.
Sistem struktur bawah (Sub-struktur) untuk kasus ke dua, memiliki perbedaan
dengan kedua kasus lainnya. Pada kasus kedua, sistem sub-struktur menggunakan
sistem pondasi menerus berupa talut yang berfungsi untuk menahan pengikisan
tanah oleh aliran air parit. Sementara pada kasus 1 dan 3, keduanya menggunakan
sistem struktur memusat atau titik yang bertumpu pada kekuatan tanah kedua
lahan, 3. Konstruksi kios untuk bagian atas bangunan memiliki kesamaan pada
ketiga kasus, yaitu dengan menggunakan konstruksi rangka kayu yang disambung
secara semi permanen. Perbedaan hanya pada konstruksi pondasi, dimana kios pada kasus ke dua mengunakan konstruksi
batu kali sebagai struktur pondasi menerusnya, 4. Konstruksi atap pada ketiga
kasus,tidak memiliki perbedaan, karena ketiganya menggunakan sistem rangka
kuda-kuda sederhana dengan material penutup atap yang terbuat dari bahan seng,
5. Kegiatan konstruksi untuk ketiga kasus, memiliki kesamaan, dalam hal sistem
pengerjaan fisiknya, yaitu secara bergotong royong, 6.Organisasi ruang pada
kasus ke tiga, adalah yang paling sederhana dibandingkan kedua kasus
sebelumnya. Hal ini disebabkan, karena pekerjaan konstruksi/pembuatan barang
tidak dilakukan ditempat, melainkan hanya finishing,penjualan dan pemajangan
karya. Sementara kasus pertama memiliki organisasi ruang yang lebih kompleks,
karena seluruh kegiatan pedagang (tidur, berjualan, workshop dari pembuatan
hingga finishing) dilakukan di dalam dan
sekitar kios, 7.Material struktur yang digunakan oleh para pedagang, walau
terdapat sejumlah perbedaan, namun secara umum memiliki kesamaan didalam
mendapatkan bahan konstruksi, yaitu dengan memanfaatkan bahan disekitar mereka
secara sederhana.
Tabel 2. Perbandingan style antara ke tiga kasus
Sumber : analisis penulis
Dari tabel 2. secara umum dapat diambil
sejumlah hal yaitu : 1. Fasade pada ketiga kasus memiliki kesamaan dalam
komposisi bukaan, wujud, skyline, maupun proporsi tampilannya, 2.Detil bukaan
cenderung serupa antara kasus pertama hingga ketiga, hal ini dikarenakan bukaan
yang ada bersifat fungsional semata dan guna memenuhi kebutuhan kios akan akses
baik fisik maupun visual, 3.Ornamen pada ketiga kasus, cenderung polos, tanpa
adanya dekorasi yang menonjol, 4. Tekstur dan warna kios secara umum cenderung
monochromatik dengan penekanan warna coklat yang disadari atau tidak oleh
pedagang, memiliki keseuaian dengan barang yang dijualnya. Tampilan cenderung
alamiah. Sebagai pembanding dapat
terlihat pada kios lain yang tidak menjual meja dan lemari yang ada
disekitarnya, yang cenderung menampilkan warna-warna primer guna menambah
aksentuasi tampilan kiosnya (kios voucer HP).
Dari tabel 3dapat disimpulkan
bahwa, 1. Tatanan massa pada ketiga kasus cenderung linier mengikuti
pola jalan (non organis) yang ada didepannya. Namun, pada kasus kedua, pola
tatanan ini, sebenarnya mengikuti pola aliran selokan Mataram (cenderung
organis). 2. Orientasi ketiga kasus memiliki keserupaan dalam hal arah, yaitu
pada arah jalan. 3.Tata ruang pada ketiga kasus, memiliki sejumlah perbedaan,
yaitu pada kasus pertama, aktifitas diluar bangunan dibatasi oleh kebun dan
jalan, pada kasus kedua, selain dibatasi oleh kebun dan jalan, juga dibatasi
oleh selokan. Sementara pada kasus ketiga, aktifitas diluar bangunan, cenderung
dibatasi oleh kepemilikan lahan dan jalan. 4. Pelingkupan pada ketiganya
menunjukkan citra yang serupa, dimana area-area yang berada didepan kios,
cenderung dibiarkan terbuka, guna area pemajangan barang. Komposisi massa yang
linier, juga menjadi kesamaan diantara ketiga kasus.
Tabel 3. Perbandingan elemen spasial dari ketiga kasus
Sumber : analisis penulis
Hasil
Berdasar analisis terhadap sejumlah kasus
diatas, didapatkan sejumlah hasil yaitu sebagai berikut : 1. terdapat sejumlah keragaman kios meja dan
lemari di Yogyakarta, yaitu : 2. Berdasar
pada karakteristik tempatnya, terdapat dua macam kios meja dan lemari di
Yogyakarta, yaitu kios yang berada dipinggir jalan dan kios yang berada didekat
selokan. Kios yang berada dipinggir atau dekat selokan cenderung bersifat
organis dalam tatanan massanya. Sementara sebaliknya untuk kios yang berada
dipinggir jalan. 3. Berdasar pola aktifitasnya, terdapat tiga macam kios meja
dan lemari di Yogyakarta, yaitu kios yang digunakan hanya untuk berjualan dan
workshop, kios yang digunakan selain untuk berjualan dan workshop, juga sebagai
tempat tinggal. 4.Berdasar proses pembuatan barangnya, terdapat dua macam kios
meja dan lemari di Yogyakarta, yaitu kios yang hanya menjual barang dan kios yang
selain menjual, juga membuat barang dagangan (meja dan lemari). 5. Sebagian
besar pedagang kios meja dan lemari di Yogyakarta, adalah pendatang yang
berasal dari Dusun Nglampingan, Desa Temuo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul,
Yogyakarta. Selain itu, bahan yang dipergunakan untuk pembuatan meja dan lemari
adalah bahan kayu sengon yang didatangkan dari Boyolali, Jawa Tengah. 6. Para
pedagang memiliki kecenderungan semi nomaden dalam menempati area kiosnya.
Dalam makna nomaden ini, para pedagang, dapat hijrah secara besar-besaran bila
harga sewa semakin tinggi, walaupun lokasi yang ditempati masih sangat
strategis. Konsekuensinya, sejumlah kios dibangun dengan pendekatan semi
permanen. Hal ini dapat terlihat pada material yang digunakan hingga pada konstruksinya
pada sistem super struktur (struktur lantai hingga atap). 7. Para pedagang
masih membudayakan semangat gotong royong dalam pembuatan kiosnya, hal ini
dimungkinkan karena sebagian besar pedagang, berasal dari tempat yang sama,
sehingga nilai-nilai budaya tradisional, masih dijunjung oleh mereka. Selain
itu, mereka masih merasa sebagai satu keluarga besar warga Desa Temuo,
Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. keragaman kios meja dan lemari di
Yogyakarta, dapat diklasifikasikan berdasar pada : a. lokasi, b. proses
produksi barang dagangan, c. asal pedagang, dan d. permanen tidak-nya bangunan.
2. Para pedagang menggunakan nilai2 budaya asalnya dalam membangun dan
mengembangkan kios mereka.
Penelitian ini mencermati karakteristik
kios-kios pedagang kaki lima meja dan lemari (fokus) yang berada di Yogyakarta
(lokus), dengan menggunakan metode rasionalistik (modus), oleh karenanya,
praktikan menyarankan bagi penelitian lanjutan dengan fokus yang sama
(karakteristik kios-kios pedagang kaki lima meja dan kursi) untuk menggunakan titik tolak penelitian (lokus, dan modus) yang berbeda guna
memperkaya hasil penelitian.
Penelitian mengenai
karakteristik kios-kios pedagang kaki lima, dapat memberikan informasi bagi
para pengambil keputusan baik di tingkat kota/kabupaten, propinsi maupun
nasional. Oleh karena itu, partisipasi
pihak-pihak terkait lainnya terutama pengambil kebijakan menyangkut tata
kota perlu untuk dipertimbangkan dalam penggalian data dalam penelitan
selanjutnya.
Rossi, Aldo, 1980, Architecture Of The City, Rizzoli,
New York
Trancik, Roger, 1985, Finding
Lost Space, Prentice Hall, Inc, New Jersey
Rapoport, Amos,
1977, Defining Vernacular Architecture, Prentice Hall, Inc., New
Jersey.
Ching, Fancis., D.K., 2000, Arsitektur
Bentuk, Ruang dan Tatanan. Erlangga, Jakarta
Habraken, N.J, 1978, General Principles Of About The
Way Environment Of Architecture. MIT, Massachussets.
Hariyadi,
Setiawan, B., 1995, Arsitektur
Lingkungan Dan Perilaku; Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi,
Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan; Dirjen Dikti Depdikbud, Jakarta.
Muhadjir, Noeng, 1997, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasih, Yogyakarta.
Rapopot, Amos.,
1974, House Form and Culture, Prentice Hall, Inc., New Jersey.
Snyder James C,
1984, Architectural Research, Van Nostrand Reinhold Company, New
York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar